- Ancam : “awas ya kalo kamu begitu lagi”, “kamu tidak akan ikut jalan-jalan”, “kamu kalau begitu bukan anak mama” ini adalah hal umum yang sering kita dengar.
- Marah Dengan Teriakan : “dasar BODOH!!”, “PERGI!!”, “KELUAR!!”
- Pukul : langsung pukul tanpa penjelasan yang perlu saya perjelas.
Pertanyaan saya, apakah kita tahu
hasilnya jika anak dibesarkan dengan cara seperti ini? Mari kita
perjelas satu persatu jika
anak yang konsisten dididik dengan cara
seperti ini, 10-15 tahun kedepan apa jadinya kehidupannya di masa depan.
1. Anak yang dididik dibawah ancaman
“Kalau kamu tidak mau membersihkan
kamarmu, semua mainanmu papa kasih ke orang lain!” anak seperti ini akan
belajar hidup meneror, teman bahkan kelak pasangan hidupnya. Karena dia
belajar untuk memenuhi kebutuhannya adalah dengan cara mengancam,
seperti orang tuanya ingin mendidiknya (karena ketidaktahuannya) dengan
baik dan membentuk perilakunya dengan ancaman. Disamping itu anak juga
akan belajar melawan yang biasanya bertumbuh sesuai usianya, jika masih
kecil melawannya kecil, jika sudah besar maka perlawanan besar.
Bisakah kita mencetak orang-orang hebat
dengan cara menciptakan hambatan dan rasa takut? Kita adalah generasi
yang dibentuk oleh sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan
bercincin, kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru,
sundutan rokok, dan seterusnya. Kita dibesarkan dengan seribu satu
kata-kata ancaman: Awas..; Kalau..; Nanti..; jika ini terus diulangi
pada generasi anak kita maka yang terjadi adalah generasi sakit hati,
dan generasi peneror. Ini adalah generasi yang akan mewariskan sakit
hati dan perilaku meneror pada anak cucu kita dan orang-orang yang
dicintainya.
Ada dua akibat penting dari sering
mengacam anak. Anak akan belajar berbohong karena ketakutan diancam dan
anak akan jadi anak yang penakut, dan sampai besar pun akan membawa
sikap-sikap ini. Dan percayalah, pada beberapa kasus klinis yang saya
tangani, sampai besar pun anak-anak yang sering diancam tetap akan hidup
dalam ancaman. Baik dari rekan kerja, bahkan pasangannya.
Sebenarnya ada alternatif lain selain memberikan ancaman kepada anak. Coba kita perhatikan beberapa diantaranya:
- Ajukan pilihan. “Rapikan kamarmu sekarang supaya waktu menontonmu lebih lama, atau rapikan nanti dan kamu tidak bisa menonton acara favoritmu sama sekali.”
- Beri batasan. “Sepuluh menit lagi mama akan bereskan meja makannya, kalau kamu tidak makan sekarang, kamu bisa makan nanti malam saja.”
- Tetapkan aturan main: apa saja tugas atau kewajiban anak dan konsekuensinya jika ia tidak memenuhinya. Lakukan ini di awal sebelum ada pelanggaran, sehingga anak sudah tahu akibat yang akan ditanggungnya. Jadi, anda tidak lagi perlu mengancam, cukup mengingatkan saja!
2. Dampak dari berteriak kepada anak
Ada sebuah cerita bagus, salah satu
kebiasaan yang ditemui pada penduduk yang tinggal di sekitar kepulauan
Solomon, yang letaknya di Pasifik Selatan. Nah, penduduk primitif yang
tinggal disana punya sebuah kebiasaan yang menarik yakni meneriaki
pohon.
Untuk apa hal tersebut dilakukan?
Kebisaan ini ternyata mereka lakukan apabila terdapat pohon dengan
akar-akar yang sangat kuat dan sulit untuk dipotong dengan kapak. Inilah
yang mereka lakukan, dengan tujuannya supaya pohon itu mati. Caranya
adalah, beberapa penduduk yang lebih kuat dan berani akan memanjat
hingga ke atas pohon itu. Lalu, ketika sampai di atas pohon itu bersama
dengan penduduk yang ada di bawah pohon, mereka akan berteriak
sekuat-kuatnya kepada pohon itu. Mereka lakukan teriakan berjam-jam,
selama kurang lebih empat puluh hari. Dan apa yang terjadi kemudian
sungguh sangat menakjubkan.
Pohon yang diteriaki itu perlahan-lahan
daunnya mulai mengering, ini fakta! Setelah itu dahan-dahannya juga
mulai rontok dan perlahan-lahan pohon itu akan mati dan mudah
ditumbangkan. Wow, kalau diperhatikan apa yang dilakukan oleh penduduk
primitif ini sungguhlah aneh.
Kita bisa belajar satu hal dari mereka.
Mereka telah membuktikan bahwa teriakan-teriakan yang dilakukan terhadap
makhluk hidup seperti pohon akan menyebabkan benda tersebut kehilangan
rohnya. Akibatnya, dalam waktu singkat, makhluk hidup itu akan mati.
Nah, sekarang, yang jelas dan perlu diingat bahwa setiap kali anda
berteriak kepada mahkluk hidup tertentu maka berarti anda sedang
mematikan rohnya. Pernahkah anda berteriak pada anak anda? Seperti: Ayo
cepat! Dasar lelet! Bego banget! Begitu saja tidak bisa! Jangan
main-main disini! Berisik!
Minder, takut berbuat salah, harga diri
rendah, tertutup, bahkan menjadi pemarah adalah anak yang dibesarkan
dengan cara seperti ini. Bentakan bukan solusi, bentakan dan teriakan
adalah bentuk ketidakmampuan orang tua dalam menghadapi perilaku anak.
Jadi apa solusinya? Belajarlah mengendalikan perilaku anak. Hal apa yang
perlu dipelajari?
Pahami kepribadian anak dan bagaimana berkomunikasi, pelajari tehnik mendisiplinkan anak, semuanya ada di website ini.
3. Dampak dari memukul anak
Anak yang sering mendapatkan pukulan
karena kemarahan orang tua atas sikap dan perilaku anak, maka anak akan
belajar satu hal penting, yaitu jika saya marah maka pukul. Kenapa?
Karena dia dibesarkan dan sering melihat orang tuanya yang marah lalu
memukul. Dari situ dia belajar, jika marah maka saya akan memukul. Maka
jika di sekolah ada anak yang sering memukul bisa jadi anak tersebut
sering dipukul di rumah.
Contoh kasus nyata, sewaktu saya menjadi
guru beberapa tahun silam. Klien saya sebut saja Dodi. Dodi dibesarkan
dengan penuh kekerasan dan kurangnya kasih sayang. Tidak jarang Dodi
menerima kekerasan fisik dari ibu dan ayahnya. Setiap hari sang ayah dan
ibu bekerja sampai larut, karena pada masa Dodi kecil kehidupan ekonomi
keluarga tidak begitu baik. Sehingga sewaktu Dodi kecil, kurang
mendapatkan kehangatan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Yang lebih
parah sang ibu adalah orang yang cukup tempramen. jika marah pada Dodi,
maka dengan mudahnya dia melampiaskan emosi tersebut dengan hukuman
fisik (pukul), ini berlangsung sampai Dodi berumur 11 tahun (kelas 5
SD).
Orang tua merasa mencintai Dodi dengan
memberikan berbagai fasilitas dan pemenuhan materi semata, tetapi Dodi
tidak merasakan cinta yang orang tua berikan. Perasaan sebagai anak yang
dicintai oleh orang tuanya tidak ada. Perasaan iri terhadap adiknya
terus membayangi Dodi, karena adiknya selalu mendapat perhatian lebih
dari orang tuanya, hanya karena sang adik memiliki kesamaan minat dengan
sang ayah yaitu otomotif.
Setiap harinya Dodi selalu
diantar-jemput kesekolah dengan ayahnya manggunakan mobil. Satu waktu
Dodi sempat ke sekolah dan pulang berjalan kaki, jarak dari rumah ke
sekolah sekitar 10 kilometer begitu sampai sekolah dia sudah kelelahan,
terkadang jika terlambat ,dia masih harus mendapat konsekuensi lagi dari
sekolah. Hal ini terjadi selama 2 minggu. Apa yang menyebabkan tidak
diantar oleh orang tuanya? Hanya karena dia tidak mau mengambil piring
kotor sisa makanan ayahnya di meja makan. Perasaan dendam yang membara
kepada sosok ayah ditumbuhkan dengan sengaja oleh seorang ayah yang
tidak mengerti kondisi tumbuh kembang anak.
Hingga akhirnya saya dapat kabar dari
ibunya, di usia yang masih 14 tahun sang ayah di TKO dengan satu kali
pukulan tepat di rahang sebelah kiri oleh Dodi. Ini kisah nyata dan
mengenaskan. Anda sudah bisa menjawab bukan kenapa ini terjadi?
Dalam relasi sosial di sekolah, tidak
banyak teman yang suka dengan Dodi, karena dia memiliki cara bergaul
yang cukup “agresif”, jika bercanda suka memukul dan sentuhan fisik yang
menjurus kasar. Tidak jarang perkelahian terjadi berulang kali. Pihak
sekolah sudah memberikan banyak macam peringatan, dari panggilan orang
tua sampai skorsing selama 2 minggu tetap tidak mampu mengubah
perilakunya. Dodi mencari pengakuan untuk dirinya sendiri dengan menjadi
orang yang menakutkan di sekolah, lebih tepatnya “preman sekolah”.
Menolak dan menentang peraturan sekolah dan guru adalah hal yang sering
terjadi dalam kesehariannya di sekolah. Tidak sungkan pula Dodi
mengumbar jika dia dewasa nanti kedua orang tuanya akan disiksa, dan
dimasukan ke dalam panti jompo.
Sampai tahap ini masihkah anda berpikir
bahwa memukul anak adalah solusi mendidik anak yang tepat? Dalam
kehidupan kita sehari-hari kita seringkali menjalankan sesuatu karena
pengkondisian masa lalu dan tidak pernah kita pertanyakan, sehingga
kualitasnya menjadi itu-itu saja. Kita pasrah dengan pengkondisian masa
lalu dan menjadi manusia robot. Hal ini terjadi di rumah, di kantor, di
sekolah dan di setiap aspek kehidupan kita. Kita seringkali melakukan
sesuatu karena memang sudah begitulah kebiasaannya. Bahkan dalam cara
berpikir pun hal ini terjadi. “Saya ini sekringnya cepat putus sehingga
mudah marah, jadi jangan buat sesuatu yang bisa meledakkan saya” atau
“Saya tidak bisa pegang uang, kalau ada uang di tangan pasti cepat
habis. Ada saja alasan untuk mengeluarkan uang saat saya pegang uang
banyak” adalah beberapa contoh pengkondisian pikiran yang telah menjadi
keyakinan dalam diri seseorang. Ada banyak sekali contoh seperti diatas
dalam kehidupan kita.
Kita adalah makhluk yang dibentuk oleh
segudang pengalaman, seperangkat lingkungan serta pengkondisian masa
lalu. Kita bisa melakukan ketiga hal diatas (ancam, teriak, pukul)
karena apa? Karena kita dulu mengalami dan melihat. Mendidik anak
bagaikan rantai yang tidak putus, jika anda dibesarkan dengan cara
dibentak, ya anda akan membentak anak anda, sederhana bukan program itu
tertanam dalam benak anda.
Pahami dan resapi makna kata ini, saat
seseorang tetap meyakini pengkondisian seperti itu dalam dirinya maka ia
tidak berkembang dalam sebuah kesadaran diri. Ia hanyalah sebuah robot
masa lalu yang bergerak dimasa sekarang dan tanpa ada perubahan.
Pertanyaan saya, jika anda boleh jujur.
Apakah anda senang diperlakukan seperti ketiga hal diatas? Pertanyaan
yang sama, apakah anak juga senang diperlakukan hal yang sama? Seperti
judulnya Anak Pelengkap Derita Orang Tua, orang tua yang dahulu yang
menderita karena dibesarkan dengan cara yang salah, akan meneruskan hal
ini karena ketidaktahuan mereka. Kemungkinan juga orang tua seperti ini
belum menyelesaikan masalah dengan masa lalunya, dan masih terus
menyimpan beberapa kenangan pahit dimasa kecilnya dan terus terbawa
hingga masa sekarang. Menderita secara batin, serta terjadi konflik diri
dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Anda kenal dengan orang semacam
ini? Saya memiliki seorang kenalan baik yang mengalami hal ini, yaitu
diri saya sendiri.
Pada intinya semua orang dewasa (guru)
dan orang tua, kita semua ini, memegang peran sebagai role model atau
contoh dan panutan untuk anak-anak di sekitar kita, baik itu anak kita
sendiri atau bukan. Jadi walaupun secara formal kita bukan guru, tetapi
pada intinya kita semua adalah juga guru, seorang pendidik.
Ya, kita semua adalah guru dan orang tua
pada saat bersamaan, seorang pendidik untuk siapa saja yang berada di
sekitar kita dengan semua tindakan dan kata-kata kita.
Sehingga PENTING sekali bagi kita untuk
melakukan hal-hal yang akan mempertahankan bekal sukses penting titipan
Tuhan pada anak-anak kita, atau bahkan semakin menguatkan bekal sukses
dan kaya tersebut. Kini dijaman yang semakin maju dan modern hendaknya
kita mau terbuka dalam pemikiran, dan memahami tumbuh kembang anak
dengan baik dan benar agar generasi kedepan semakin baik dan mewariskan
hal-hal yang memberdayakan.
Timothy Wibowo
No comments:
Post a Comment
Terimakasih telah berkunjung.
Semoga menemukan yang anda cari.
Kami harapkan komentarnya, saran-kritik.
Silahkan telusuri laman berikutnya.